Ilustrasi : Ist |
By : Wan Traga Duvan Baros
Kopi-times.com – Sidang putusan HHY, putri Sri Bintang Pamungkas atas kepemilikan narkotika kembali bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, 30 April 2020. Majelis Hakim memutus 1 tahun pidana penjara dengan kewajiban menjalani pengobatan dan perawatan melalui Rehabilitasi Medis dan Sosial di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (“Rehabilitasi”) selama 5 (lima) bulan yang diperhitungkan dengan masa pidana yang dijatuhkan. Di butir putusan selanjutnya, disebutkan juga bahwa masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa serta masa menjalani Rehabilitasi dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
Catatan kami masih sama dengan persidangan yang lalu, di mana proses persidangan dilakukan melalui teleconference, berdasarkan Perjanjian Kerja Sama Nomor 402/DJU/HM.01.1/4/2020, KEP-17/E/EJP/04/2020, PAS-08.HH.05.05 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Persidangan Melalui Teleconference (“Perjanjian Kerja Sama”) antara Mahkamah Agung, Jaksa Agung dan Kementerian Hukum dan HAM, tanpa para Advokat menjadi salah satu pihak yang menandatanganinya. Majelis Hakim seakan tidak menggubris kritikan para Advokat yang sangat keberatan atas adanya Surat Perjanjian tersebut, sehingga persidangan tetap dilakukan melalui teleconference melalui telepon selular, sehingga terkesan tidak serius, tanpa adanya sarana pendukung untuk selayaknya teleconference. Terlebih lagi, dalam persidangan tersebut, HHY tidak mendengar dan melihat jelas suasana persidangan, sehingga banyak hal yang terlewat. Terdakwa harus diperlakukan selayaknya manusia yang mempunyai harkat, martabat dan harga diri, bukan sebagai obyek yang dipangkas hak asasi dan harkat martabat kemanusiaannya dengan sewenang-wenang oleh Negara.
Seperti dikutip dalam keterangan kami yang lalu, bahwa Perjanjian Kerja Sama itu banyak mengandung hal yang absurd, misalnya saja tidak adanya kejelasan mengenai klasifikasi sebuah persidangan dapat dilakukan dengan cara biasa sesuai KUHAP, atau harus melalui teleconference. Dalam hal ini, HHY dalam keadaan sehat, dan bisa dihadirkan dalam persidangan, sehingga tidak ada alasan yang dibenarkan untuk tidak menghadirkan tersangka/ terdakwa, tentunya dengan berbagai pembatasan yang berlaku dalam masa pandemi ini. Ditambah lagi, tidak ada satu pun pasal yang menjelaskan definisi mengenai teleconference itu sendiri atau penjelasan mengenai “sarana dan prasarana penunjang yang memadai”. Tidak ada satu pun pasal mengenai “definisi”, sehingga bagaimana para pihak dapat menjalankan maksud dan tujuan Perjanjian Kerja Sama itu dengan baik?
Belum lagi dilihat dari segi derajat hukumnya, di mana sebuah Undang-Undang (dalam hal ini adalah KUHAP), tidak dapat dikesampingkan hanya dengan sebuah perjanjian. Asas Lex Superior Derogat Legi Inferior menjadi berlaku dalam hal ini, di mana hukum yang lebih tinggi dapat mengesampingkan hukum yang lebih rendah. Perjanjian Kerja Sama tersebut dalam hal ini derajatnya lebih rendah dibandingkan dengan KUHAP, karena hanya mengikat para pihak yang membuatnya. Sedangkan KUHAP berlaku untuk seluruh Warga Negara Indonesia, dibuat melalui proses panjang dan tidak sebentar, dimulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan sampai tahap pengundangan dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Sehingga Perjanjian Kerja Sama itu tidak berlaku dan tidak dapat dilaksanakan
Namun, dalam hal ini, kami sangat mengapresiasi putusan Majelis Hakim untuk tidak memutus HHY sebagai bandar, dan mengambil opsi untuk merehabilitasi HHY. Seperti kita ketahui bahwa pada hakikatnya para pengguna narkotika bukan pelaku, melainkan korban. Mereka membutuhkan bantuan (dalam hal ini, Negara) untuk mengatasi ketergantungannya pada narkotika.
Sudah tepat, bahwa Rehabilitasi adalah cara yang paling tepat bagi para pengguna narkotika untuk sembuh dan memutus rantai pemakaian. Sedangkan di dalam Lembaga Pemasyarakatan, para pengguna narkotika yang sudah selesai menjalani pidananya, seringkali kembali lagi menggunakan narkotika tersebut. (***)
Editor : Hery B Manalu
Wan Traga Duvan Baros, Program Manager Rehabilitasi Sosial Yayasan Karunia Aksi Bangsa Indonesia (YKABI) Bogor.