spot_img
BerandaArtikelMengapa Hari Bumi Penting bagi Orang Beriman?

Mengapa Hari Bumi Penting bagi Orang Beriman?

Oleh : Hery Buha Manalu

Setiap tanggal 22 April, dunia memperingati Hari Bumi. Bukan sekadar momentum seremonial, Hari Bumi adalah panggilan global untuk melihat kembali relasi manusia dengan alam semesta. Ini adalah seruan agar kita berhenti sejenak dari hiruk-pikuk kehidupan yang seringkali egois dan eksploitatif, lalu bertanya pada diri sendiri. Apakah aku telah berlaku adil terhadap bumi yang kupijak? Di tengah krisis lingkungan yang semakin mengkhawatirkan pemanasan global, perubahan iklim ekstrem, polusi udara dan air, punahnya spesies, dan, deforestasi yang masif, pertanyaan ini bukan hanya penting, tetapi mendesak.

Namun bagi orang beriman, terutama umat Kristen, pertanyaannya bahkan harus lebih dalam, Apa peran imanku dalam menjaga dan merawat bumi ini? Apakah teologi yang kupelajari, iman yang kuhayati, dan gereja yang kubangun telah cukup memberi ruang bagi suara alam yang hari ini sedang mengaduh? Bila tidak, maka Hari Bumi bukan hanya hari kesadaran lingkungan, tapi sekaligus hari pertobatan ekologis.

Hari Bumi, dari Kesadaran Global Menuju Pertobatan Ekologis

Hari Bumi pertama kali dicanangkan pada tahun 1970 di Amerika Serikat sebagai reaksi terhadap polusi industri yang masif dan kerusakan lingkungan yang tak terkendali. Gerakan ini kemudian berkembang kesadaran global lintas agama, budaya, dan bangsa. Tapi di Indonesia, perayaan Hari Bumi masih kerap dianggap sebagai urusan para aktivis lingkungan semata. Padahal, isu lingkungan hidup seharusnya menjadi perhatian semua orang, terutama orang-orang yang percaya pada Allah Sang Pencipta. Bagi komunitas Kristen, bumi bukan hanya tempat tinggal, tetapi rumah ciptaan Tuhan yang “sungguh amat baik” (Kejadian 1:31). Ketika bumi rusak, yang terluka bukan hanya tanah, air, dan udara, tetapi juga hati Tuhan yang menciptakannya.

Sayangnya, dalam praktik kehidupan beragama, perhatian terhadap lingkungan sering kali tertinggal. Kita lebih sibuk berbicara tentang keselamatan jiwa daripada menyelamatkan bumi tempat jiwa itu hidup. Kita menghafal ayat demi ayat tentang kasih dan keadilan, tetapi membiarkan ketidakadilan ekologis merajalela. Kita rajin berkotbah soal surga, tetapi lupa bahwa Tuhan pertama-tama menitipkan bumi kepada kita untuk dijaga, bukan dihancurkan.

Geopark Toba sebagai bagian dari Taman Bumi
Apa peran imanku dalam menjaga dan merawat bumi ini? Apakah teologi yang kupelajari, iman yang kuhayati, dan gereja yang kubangun telah cukup memberi ruang bagi suara alam yang hari ini sedang mengaduh?/foto :ist/kopitimes

Mengapa Sekolah Tinggi Teologi Harus Peduli?

Pertanyaan penting yang perlu diajukan dalam konteks ini adalah, mengapa isu lingkungan harus dibicarakan di sekolah tinggi teologi? Jawabannya sederhana namun fundamental, karena lingkungan hidup adalah bagian dari iman. Ketika sekolah teologi mendidik calon pemimpin gereja, mereka sedang membentuk cara berpikir dan cara hidup umat Kristen di masa depan. Jika sejak awal para calon pemimpin ini tidak dibekali dengan kesadaran ekologis yang kuat, maka gereja-gereja masa depan akan tetap menjadi institusi yang bisu terhadap penderitaan ciptaan.

Sekolah teologi bukan sekadar tempat belajar doktrin dan homiletika. Ini adalah tempat membangun narasi baru tentang bagaimana iman Kristen dapat memberi harapan di tengah dunia yang terluka, termasuk dunia ekologis yang sedang sekarat. Maka, memasukkan dimensi ekologi dalam wacana teologi bukan sekadar tambahan kurikulum, tetapi bagian integral dari panggilan iman itu sendiri.

Dalam banyak dokumen teologis kontemporer, seperti Laudato Si’ dari Paus Fransiskus dan karya para teolog seperti,  Leonardo Boff atau John Cobb, dikatakan bahwa krisis lingkungan hari ini bukan hanya persoalan teknis atau politis, tetapi juga spiritual. Artinya, masalahnya bukan hanya soal regulasi dan teknologi, tapi juga soal hati manusia yang rakus dan serakah. Karena itu, penyelesaiannya bukan hanya lewat kebijakan publik, tetapi juga lewat pertobatan dan perubahan gaya hidup. Di sinilah sekolah teologi bisa berperan sebagai pusat transformasi spiritual dan kultural yang berpihak kepada bumi dan segala makhluk.

Bumi yang Luka, Ciptaan yang Mengeluh

Jika kita membuka mata dan telinga dengan kepekaan spiritual, kita akan menyadari bahwa bumi sedang berteriak. Hutan-hutan di Kalimantan dan Papua ditebang demi keuntungan jangka pendek. Sungai-sungai di kota besar menjadi tempat pembuangan limbah rumah tangga dan industri. Udara di kota-kota bahkan desa yang harus tetap mempertankan identitasnya. Udara bersih semakin sulit dihirup karena polusi. Suhu bumi meningkat dari tahun ke tahun, menyebabkan banjir, kekeringan, dan gagal panen. Di banyak daerah, masyarakat adat kehilangan hak atas tanah mereka, dan ekosistem lokal hancur.

Kenyataan ini seharusnya membuat kita merenung dalam-dalam, bagaimana bisa manusia yang diciptakan “segambar dan serupa dengan Allah” justru menjadi perusak ciptaan? Bukankah Kejadian 2:15 berkata bahwa manusia ditempatkan di taman Eden untuk “mengusahakan dan memelihara” taman itu? Tapi hari ini, kita justru lebih sering menguasai dan merusaknya.

Alkitab bahkan menggambarkan bahwa ciptaan sedang “mengeluh” dan menantikan pembebasan dari kerusakan (Roma 8:19–22). Ini bukan bahasa simbolik belaka, tetapi realitas profetik. Alam semesta ikut menderita karena dosa manusia. Maka, siapa pun yang percaya kepada Injil keselamatan tidak bisa tinggal diam ketika ciptaan Tuhan sedang disakiti.

Teologi Tanpa Ekologi adalah Teologi yang Cacat

Dalam konteks ini, kita harus berani berkata, teologi yang tidak memberi tempat bagi isu ekologi adalah teologi yang cacat. Sebab iman Kristen sejati adalah iman yang menghidupkan, bukan mematikan. Iman yang mengasihi, bukan mengeksploitasi. Iman yang menyembuhkan, bukan merusak. Maka, memperingati Hari Bumi bukan hanya soal ikut tren, tetapi bagian dari ketaatan iman. Ini adalah bentuk ibadah dalam arti yang paling murni, merawat apa yang Tuhan percayakan kepada kita.

Gereja yang tidak peduli lingkungan bukanlah gereja yang hidup. Ia bisa saja memiliki liturgi yang indah, gedung yang megah, dan anggota yang banyak, tetapi jika tidak ada cinta terhadap bumi, gereja itu telah melupakan sebagian besar isi Alkitab. Sebaliknya, gereja yang mencintai bumi akan menjadi tanda Kerajaan Allah yang hadir di dunia ini, kerajaan di mana kasih, keadilan, dan damai menyatu dalam kehidupan yang utuh.

Sebuah Ajakan untuk Pertobatan dan Aksi Nyata

Maka Hari Bumi bagi kita umat beriman bukan hanya hari refleksi, tapi hari panggilan. Sebuah ajakan untuk bertobat dari gaya hidup yang konsumtif dan merusak. Sebuah dorongan untuk membangun relasi baru dengan ciptaan, relasi yang bersahabat, penuh hormat, dan bertanggung jawab. Hari Bumi adalah momen untuk melihat dunia dengan mata Allah, yang menciptakan segala sesuatu dengan penuh kasih, dan memanggil kita untuk menjadi penjaga, bukan perusak.

Semoga melalui peringatan Hari Bumi di sekolah-sekolah teologi, kita tidak hanya merayakan satu hari dalam kalender, tetapi memulai perjalanan panjang menuju pertobatan ekologis yang sejati. Sebab iman yang tidak mencintai bumi adalah iman yang kehilangan jiwanya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini