spot_img
BerandaArtikelMelawan Lupa, 'Parhombanan' dalam Masyarakat Batak

Melawan Lupa, ‘Parhombanan’ dalam Masyarakat Batak

IMG 20200130 211531
Ilustrasi : Ist

 

Oleh : Hery Buha Manalu, Dosen Pasca Sarjana STT Paulus Medan. Penggiat Lingkungan dan Budaya
Kopi Times : Melawan lupa, menghargai atau merawat “Parhombanan” (mata air/sumber air) dalam masyarakat Batak. Warisan leluhur yang terabaikan atau tradisi yang terlupakan. Opini dan perspektif ini menggugah  ‘Kesadaran’  untuk menghargai parhombanan sebagai sumber air penyangga kehidupan, warisan budaya sebagai pusaka atau sebagai identitas perkampungan Batak (Huta). Biasanya kalau ada Huta (Batak) tentunya ada sumber air (mual, Homban) komunal marga leluhur yang membuka perkampungan tertentu.

Pada kesempatan ini penulis menyayangkan pola berpikir yang sempit dan mengabaikan tempat-tempat sumber mata air/sumber air, (mual atau parhombanan leluhur marga). Harusnya ada suatu gerakan atau kesadaran generasi yang didukung para tetua adat agar membuatnya terang.

Merawat perhombanam dan menghargai menjaga dan melestarikan alam dan warisan budaya leluhurnya. Suatu keraguan antara keyakinan, mitos atau sakral. Bukan membawa kepada kesesatan berpikir.

Parhombanan adalah tempat dimasyarakat leluhur Batak memperoleh air. Parhombanan adalah sumber atau mata air. Masyarakat Batak dalam kehidupannya sangat dekat dengan air. Air sebagai eleman penting penyangga kehidupan dan upavara ritual sejak leluhur Batak. Air sebagai lambang kehidupan orang Batak. Sejarah Batak mencatat bahwa parhombanan sebagai altar atau tempat berdoa di alam terbuka. Demikian penghargaan masyarakat Batak terhadap air dan parhombanan. Mengingat sejarah parhombanan adalah perlu, utamanya, adalah bagaimana menghargai sebuah nilai penting arti “Air” pada masa-masa kehidupan mereka (leluhur).

Miris pada saat ini, Parhombanan diabaikan. Banyak perkampungan (huta) Batak yang tidak merawat parhombanan warisan leluhur marganya. Parhombanan terlupakan, sejarah hidup leluhurnya diabaikan. Bahwa keberlangsungan kehidupan sebuah perkampungan (huta) adalah ketersediaan air. Parhombanan sebagai penyangga kehidupan dan adat ritual masyarakat Batak sejak lampau. Lalu akal budi yang diyakini dalam perspektif logika, terburu-buru menganggap sumber air “Parhombanan” itu bertentangan dengan lembaga agama, modern (hamajuon).

Lantas cukup adilkah bila melupakan dan mengabaikannya, karena mungkin saat ini kita sudah diberi kemudahan dalam memperoleh air. Tidak terpikirkah kita “dalamnya” bagaimana memaknai arti “Air” itu bagi kehidupan leluhur Batak.

Mungkin sebagian pihak, oleh karena sebuah kemajuan peradaban sudah praktis dan bisa menikmati, sumur bor, pipa air yang sudah menjangkau rumah-rumah di perkampungan untuk pemenuhan kebutuhan akan air sehari-hari.

Baiklah mungkin generasi saat ini, memandang hal itu sebagai sesuatu yang ketinggalan jaman. “Homban” atau “Parhombanan” terlahir dari pemahaman sakral atau tidak? Apa itu “Perhombanan” makna arti, atau pengetahuan kita yang belum original (masih gagal paham). Mungkin ada arti maknanya, secara fiosofi dan perspektif Legenda Batak.

Martutu Aek
——————–
Dalam keyakinan orang Batak, air adalah awal kehidupan jasmani. Raja Ihat Manisia dan Boru Ihat Manisia adalah perpaduan air tubuh manusia surgawi putra-putri para Dewata.

Tubuh yang menjadi manusia lahir wajib diperkenalkan dengan jenis asal mereka yaitu “air”.

“Martutuaek” artinya menuju ke sumber air. Memperkenalkan setiap manusia lahir itu dengan air yang merupakan keutamaan sumber hidup sebelum mengenali semua apa yang ada di bumi.

Untuk pertama sekali dia (Leluhur Batak atau Marga) mengambil air dari sumbernya yang dibuat sebagai penghormatan kepada Mulajadi Nabolon. Mungkin perlu penelitian atau pengkajian. Pasca agama itu Baptis, versi budaya Batak itu “Martutu Aek”, walau mirip tujuan, tapi tak serupa.

Namun perlu disadari bahwa keduanya memang memaknai simbol “Air”. Demikian dalam dan pentinglah makna air itu. Para leluhur Marga memperkenalkan putra-putrinya yang lahir kepada alam ini, adalah juga menggunakan media “air”. Mata Air itu sedemikian penting maknanya yaitu  sebagai “Parhombanan” baginya dan anak cucunya.

Lantas jadi sedangkal apakah pemahaman kita untuk pengertian Mulajadi Nabolon, karena kita sudah pada pencapaian pengertian lembaga agama modern.

Mungkin saat ini, kita masih akan terus ‘Membuli” (menghakimi sepihak) akan pengertian atau pemahaman leluhur terhadap Kebesaran Sang Yang Maha Kuasa. Istilah mereka Debata Mulajadi Nabolon, Tuhan Yang Maha Esa untuk menghomati Sang Pencipta Langit dan Bumi dalam versi budaya atau peradaban Leluhur Batak.

Adilkah bila kita masih tetap memaksakan perbandingan terhadap “paradigma berpikir leluhurmu” lalu, lantas mengkerdilkan mereka dengan memakai standart cara berpikir kita yang sempit. Lalu menuding mereka sesat tak bertuhan dan sebagainya.

Bila kita sekarang memakai cara pikir dan paradigma buku suci (kitab suci) yang digunakan sesuai jaman ini. Demikian juga leluhur Batak juga memakai paradigma berpikir mereka yang diambil dari mitos legenda Batak si “Boru Deakparujar”.

Seperti halnya pesan yang diterima Raja Ihat Manisia dan Boru Ihat Manisia, manusia itu wajib memelihara seluruh isi bumi ini. Sekali lagi pesan penting dan positif dari pandangan budaya tidaklah bertentangan dan keyakinan sekarang bahwa “manusia itu wajib memelihara seluruh isi bumi ini”.

Lalu kemudian diteruskan leluhur Batak ke generasinya bahwa air adalah saudara tubuh kenyal, dari awal terbentuk hingga pemeliharaannya, dalam sirkulasi darah di dalam tubuhnya.

Untuk pribadi manusia Batak, bahwa air  adalah berperan untuk : “Parsuksion mula ni haiason, haiason mula ni parsolamon, parsolamon mula ni Hamalimon”, (awal pembersihan menuju kesucian, kesucian menuju kesempurnaan).

Dalam hubungan manusia dengan Mulajadi Nabolon, mereka menggunakan media “Air” itu sebagai “Mual Natio dipadomu dohot unte mungkur marangkuphon sanggul banebane jumadi pangurason parsungsion” : (“berperan sebagai persembahan kepada Mulajadi Nabolon atau pelengkap utama dari seluruh jenis persembahan”).

Parhombanan
———————–
Kemudian pekembangan manusia membutuhkan penataan kehidupan yang teratur. Penataan kehidupan itu diaturkan tata lingkungan rumah tinggal atau perkampungan, sumber kehidupan, kesehatan dan hubungan sosial.

Para leluhur Batak (leluhur marga), mengadakan pemilihan sebuat tempat perkampungan, indikator utama adalah adanya sumber air, sub indikatornya adalah faktor kemudahan ke akses sumber air itu. Sumber air pilihan adalah sungai, pancuran dan mata air, dan sebagainya.

Proses dan sejarah yang konon ada, dan juga beberapa kisah yang menyatakan bahwa beberapa leluhur marga, sebelumnya tidak menemukan mata air, tapi atas permintaan atau permohonan  mereka kepada Mulajadi Nabolon. Mereka pun diberi mata air yang melimpah. Berarti ada proses permohonan dalam doa-doa leluhur Batak, Tonggo-tonggo Omputta, tentang terjadinya sebuah Parhombanan.

Sumber Air, Parhombanan di Rawat
——————————-
Semestinya sumber air ini dipelihara dan dirawat karena diakui sebagai anugerah utama dalam kehidupan mereka.

Bukan itu saja, bahan jenis kayu atau pepohonan yang ada disekitar “Parhombahan” itu juga harus dirawat, bukan ditebang sembarang.

Manifestasi rasa syukur mereka para leluhur kita dahulu, atas anugerah itu, mereka melakukan persembahan kepada Mulajadi Nabolon di lokasi mata air itu.

Mereka membuat batasan-batasan perlakuan sebagai penghargaan kepada sumber air itu. Biasanya sumber air itu kemudian dialirkan ke sawah-sawah, sebagai sumber air minum utama dan kebutuhan ritual “pangurason”.

Untuk mewujudkan hubungan dengan pencipta alam semesta harus memenuhi tata cara khusus dengan persembahahan minimal air suci (pangurason). Lalu aturan hubungan manusia dengan pencipta ini disebut Ugamo.

Mangase Homban
——————————
Konon biasanya, sekali dalam satu tahun dilakukan acara ritual pada mata air (homban) itu yang disebut dengan “mangase homban”.

Tujuannya merawat dengan cara membersihkan lokasi sumber mata air, perawatan tanaman dan pohon yang ada disekitarnya, perawatan aliran air ke hilir hingga perbaikan pematang sawah.

Biasanya ini dimaknai sebagai pertanda awal turun sawah setelah selama satu tahun digunakan untuk sumber kehidupan dan memulai kegiatan baru untuk kehidupan baru ke depan.

Mangase Homban berkaitan dengan acara ritual Bius ”Asean Taon” dengan melakukan persembahan kepada Mulajadi Nabolon dengan kurban “Horbo Santi”.

Mangase Homban juga dilakukan oleh warga kampung, setelah dilakukan Asean Taon oleh Bius dengan melibatkan seluruh kampung yang ada dalam Bius itu.

Penganugerahan Parhombanan ini sekaligus pemaknaan pemberian warisan sebagai “UGASAN” bagi Marga atau sipemilik Parhombanan dan keturunannya, Mata air ini lajim di sebut “jullak.

“Mata Air/ Sumber Air (Ibrani: עַיִן – ‘AYIN), umumnya, sebuah sumber air alam (Keluaran 15:27), kontras dengan sumur dan perigi yang biasanya digali (Kejadian 26:15); juga digunakan untuk memaksudkan sumber dari sesuatu selain air. Dua istilah Ibrani untuk “mata air; sumber air” adalah עַיִן – ‘AYIN (harfiah, mata), dan istilah yang berkaitan, מַעְיָן – MA’YAN. Kata Yunani yang berpadanan dengan ini adalah πηγή – PEGE. Karena sumber air kadang-kadang dibersihkan dan diperdalam, “mata air” dan “sumur” adakalanya digunakan secara bergantian untuk sumber air yang sama. Kepada orang Israel, Musa menggambarkan Tanah Perjanjian sebagai suatu negeri dengan penuh mata air”

————————————————————
Melawan Lupa, “Menjaga dan Merawat Mata Air/ Sumber Air”

“Adakah kau merawat “Mata Air/Sumber Air” ku itu, atau menebangi pohon-pohon disitu. Adakah kau sadari, bahwa ketika itu Tuhan menjawab doaku melalui tongo-tonggoku kepada Mulajadi Nabolon, kelak akan pentingnya sumber air bagimu..”

Selama ini kau melupakan mata “air” ku itu yang dulu sebagai sumur leluhurmu? Berarti kau sudah melupakan aku?
Kini kau mencari-cari, dimana aku?,.

“Joujou ma ho tu Ahu, asa Hu alusi ho, asa Hupabotohon tu ho hata angka na bolon dohot na songkal, angka na so binotomi”.(Jeremia 33 : 3).***

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini