spot_img
BerandaAkademikaHari Bumi, Gereja dan Ekoteologi Saatnya Bergerak

Hari Bumi, Gereja dan Ekoteologi Saatnya Bergerak

Oleh : Hery Buha Manalu

Sekolah Tinggi Teologi (STT) Paulus Medan melakukan Seminar dan Diskusi Hari Bumi, Senin 21/4/2025 di Medan. Penulis menyampaikan dalam semangat Paskah bahwa menghadapi krisis ekologis yang semakin nyata, kita tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan teknis atau administratif. Dunia butuh perubahan yang lebih mendalam, menyentuh akar kesadaran, nilai, dan spiritualitas manusia. Dan di sinilah ekoteologi hadir sebagai tawaran alternatif, sebuah pendekatan iman yang membumi, yang memadukan antara teologi dan ekologi secara kreatif dan bertanggungjawab.

Ekoteologi bukan sekadar cabang ilmu baru dalam teologi. Ia adalah seruan untuk pertobatan paradigma, panggilan untuk melihat kembali relasi kita dengan Allah, dengan sesama, dan dengan ciptaan. Dalam bahasa yang sederhana, ekoteologi adalah cara memahami iman Kristen secara utuh dengan menempatkan bumi sebagai bagian integral dari karya keselamatan Allah.

Apa Itu Ekoteologi?

Secara etimologis, kata ekoteologi berasal dari gabungan kata “ekologi” (ilmu tentang rumah atau lingkungan hidup) dan “teologi” (ilmu tentang Allah). Maka ekoteologi dapat dipahami sebagai refleksi teologis tentang peran dan tanggung jawab manusia terhadap lingkungan hidup dalam terang iman kepada Allah Pencipta. Ini adalah jawaban iman atas realitas ekologis yang sedang terluka.

Dalam ekoteologi, Allah tidak hanya dipahami sebagai sosok adikodrati yang jauh di surga, melainkan sebagai Allah yang hadir di tengah ciptaan, yang menyatu dan menyapa umat-Nya melalui gunung, air, angin, pohon, dan tanah. Iman tidak lagi hanya berpusat pada relasi vertikal, tetapi juga horizontal, termasuk relasi dengan ciptaan.

Lebih dari itu, ekoteologi mengkritisi teologi antroposentris (yang memusatkan segala hal hanya pada manusia) dan mengajak kita menuju kosmoteologi, di mana seluruh ciptaan dilihat sebagai bagian dari keluarga besar Allah. Ini mengubah cara kita berdoa, beribadah, bekerja, dan mengelola bumi, karena kita tidak lagi melihat alam sebagai objek, melainkan sebagai sesama ciptaan yang setara dalam cinta Allah.

Hari Bumi dan Hari Kartini
Saat Foto bersama pada Acara Seminar Hari Bumi dan Hari Kartini STT Paulus Medan, 21/4/2025. Bahwa Ekoteologi bukan sekadar cabang ilmu baru dalam teologi. Ia adalah seruan untuk pertobatan paradigma, panggilan untuk melihat kembali relasi kita dengan Allah, dengan sesama, dan dengan ciptaan/foto : tessa/kopitimes

Akar Biblis dan Teologis Ekoteologi

Ekoteologi bukan pemikiran modern belaka. Ia memiliki akar yang dalam dalam Alkitab dan tradisi iman Kristen. Kitab Kejadian jelas menyatakan bahwa ketika Allah menciptakan dunia, Ia melihat semuanya itu “sungguh amat baik” (Kej. 1:31). Artinya, ciptaan bukan hanya sekadar latar atau fasilitas bagi manusia, melainkan bagian dari kehendak dan kasih Allah.

Mazmur 104 dan 148 menampilkan alam sebagai makhluk yang memuji Allah. Gunung, burung, api, dan angin disebut sebagai pelayan Allah. Kitab Ayub mengingatkan kita bahwa hikmat juga berasal dari ciptaan. Bahkan Yesus sendiri dalam ajarannya banyak menggunakan unsur-unsur alam, biji sesawi, angin, burung pipit, bunga bakung, sebagai media pewahyuan Kerajaan Allah.

Dalam tradisi Kristen awal, banyak bapa gereja seperti Fransiskus dari Assisi melihat alam sebagai saudara: “Saudari Bumi,” “Saudara Matahari.” Ini bukan puisi romantik, melainkan ekspresi iman yang mendalam. Semua ciptaan adalah bagian dari komunitas Allah.

Sayangnya, sepanjang sejarah, tafsir yang salah terhadap konsep “tunduklah dan taklukkanlah bumi” (Kej. 1:28) telah menjerumuskan manusia dalam logika penguasaan, bukan pengelolaan. Inilah yang coba diluruskan oleh ekoteologi. Kita bukan tuan atas bumi, melainkan pengelola (steward) yang diberi mandat untuk merawat, menjaga, dan mencintai bumi sebagaimana Allah mencintainya.

Ekoteologi dan Spiritualitas Baru

Ekoteologi tidak hanya membentuk pemahaman baru, tetapi juga spiritualitas baru. Kita diajak untuk membangun hidup yang sederhana, penuh syukur, dan terhubung dengan bumi. Kita belajar untuk tidak rakus, tidak konsumtif, dan tidak sembarangan dalam menggunakan sumber daya.

Spiritualitas ekoteologis mengajak kita untuk mengalami kehadiran Allah dalam hening hutan, dalam desir angin, dan dalam tetes hujan. Ibadah tidak hanya terjadi di gedung gereja, tetapi juga di ladang, di tepi danau, atau di taman kecil rumah kita. Doa bukan hanya kata-kata, tetapi juga tindakan merawat taman, memungut sampah, menanam pohon, atau memilih produk ramah lingkungan.

Ini bukan soal kembali ke zaman primitif, tapi soal kesadaran bahwa hidup modern harus berdamai dengan bumi. Kita bisa tetap menjadi orang Kristen yang modern tanpa harus merusak alam. Kita bisa menjadi jemaat digital yang juga bijak secara ekologis. Sebab yang dituntut dari kita adalah keseimbangan antara kemajuan dan keadilan ekologis.

Gereja dan Ekoteologi, Waktunya Bergerak

Ekoteologi bukan hanya urusan teolog, dosen, atau aktivis lingkungan. Ini adalah panggilan seluruh gereja. Maka, sudah saatnya gereja mengambil langkah nyata. Mengkaji ulang liturgi dan ibadah agar lebih menyuarakan keprihatinan ekologis: misalnya dengan memasukkan doa untuk bumi, nyanyian ciptaan, dan khutbah bertema lingkungan.

Mendorong pendidikan lingkungan dalam katekisasi dan sekolah minggu. Anak-anak dan remaja perlu diajarkan bahwa menjaga bumi adalah bagian dari iman. Mengubah gaya hidup komunitas jemaat. Misalnya, mengurangi penggunaan plastik saat perjamuan kasih, mengadakan kerja bakti lingkungan, atau membuat kebun gereja.

Membangun jaringan dengan komunitas lokal dan lembaga lingkungan, agar gereja tidak berjalan sendiri, tetapi menjadi bagian dari gerakan bersama untuk keadilan ekologis. Panggilan kita bukan sekadar menjadi “penonton perubahan”, tetapi menjadi pelaku rekonsiliasi antara manusia dan ciptaan.

Ekoteologi dan Teologi Harapan

Di tengah kerusakan ekologis yang tampak seperti akhir dunia, ekoteologi menawarkan teologi harapan. Harapan bukan ilusi, melainkan iman akan kasih dan kesetiaan Allah yang tak pernah meninggalkan ciptaan-Nya. Harapan bahwa setiap usaha kecil kita, menanam pohon, mengurangi limbah, mengedukasi anak, adalah bagian dari karya pemulihan Allah.

Dalam Roma 8:19-22, Rasul Paulus menulis bahwa seluruh ciptaan “menanti dengan penuh kerinduan akan saat anak-anak Allah dinyatakan.” Ini adalah kalimat yang sangat penting dalam ekoteologi. Artinya, ciptaan berharap kepada kita, umat percaya, untuk menjadi mitra Allah dalam pemulihan dunia. Maka setiap langkah iman kita adalah bagian dari jawaban atas kerinduan bumi.

Saatnya Iman Menyatu dengan Bumi

Ekoteologi bukan tren sesaat. Ia adalah panggilan zaman yang serius dan mendesak. Dunia sedang terluka, dan gereja tidak bisa tinggal diam. Melalui ekoteologi, kita diajak untuk membumikan iman kita, bukan dalam arti menurunkan nilainya, tapi menjadikannya nyata, berguna, dan menyelamatkan.

Iman tanpa kepedulian ekologis adalah iman yang timpang. Sebaliknya, iman yang mencintai bumi adalah iman yang mencerminkan kasih Allah secara utuh. Maka marilah kita menjadi bagian dari gerakan iman yang membumi yang mencintai tanah, air, udara, binatang, dan sesama, karena di sanalah Allah hadir.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini