Oleh : Hery Buha Manalu
Ketika kita berbicara tentang tentang krisis ekologi, kita tidak sedang membicarakan isu pinggiran. Kita sedang membicarakan masa depan kehidupan. Kita sedang menanggapi jeritan bumi yang semakin keras dari hari ke hari. Jika iman Kristen tidak hadir di tengah jeritan ini, maka iman itu kehilangan daya nyatanya. Sebab, seperti yang telah dijelaskan dalam bagian sebelumnya, iman kepada Allah sebagai Pencipta menuntut tanggung jawab terhadap ciptaan. Maka kini, kita perlu membuka mata terhadap kenyataan dunia, terutama, darurat dan realitas ekologis di Indonesia, sambil mendengarkan apa yang dikatakan iman dalam meresponinya.
Bumi yang Sakit, Krisis Ekologi Global
Secara global, dunia saat ini menghadapi situasi yang sangat serius: perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, pencemaran lingkungan, dan kerusakan hutan. Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menunjukkan bahwa suhu rata-rata bumi meningkat secara drastis akibat emisi gas rumah kaca, terutama dari aktivitas industri manusia. Perubahan ini menyebabkan cuaca ekstrem, naiknya permukaan laut, gagal panen, dan kelaparan di banyak negara.
Lebih dari itu, PBB melaporkan bahwa satu juta spesies tumbuhan dan hewan terancam punah dalam beberapa dekade ke depan. Kita sedang kehilangan kehidupan, bukan hanya dalam jumlah, tetapi dalam kualitas. Bumi kehilangan keindahannya, dan kita semua adalah bagian dari kehilangan itu.
Krisis ini tidak hanya terjadi karena kesalahan teknis atau kebijakan ekonomi, tetapi juga karena cara pandang manusia terhadap alam. Kita terlalu lama hidup dalam logika konsumerisme dan eksploitasi. Kita menyangka bahwa alam adalah benda mati yang bisa diperas tanpa batas. Tapi sekarang, bumi membalas. Ia menggigil, retak, dan menangis. Ini bukan lagi soal isu lingkungan, tetapi soal keadilan, etika, dan spiritualitas.
Indonesia, Surga yang Terluka
Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan alam yang luar biasa. Kita punya hutan hujan tropis terbesar ketiga di dunia, keanekaragaman hayati laut yang tertinggi, serta gunung, sungai, dan tanah yang subur. Tapi kekayaan ini kini berubah menjadi ancaman, karena pengelolaan yang buruk, rakus, dan jangka pendek.
Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), deforestasi Indonesia pada tahun-tahun terakhir masih dalam angka yang mengkhawatirkan. Ribuan hektare hutan dibuka setiap tahun untuk kepentingan perkebunan, tambang, dan industri. Akibatnya, terjadi bencana ekologis yang terus berulang: banjir bandang, longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan.
Di Kalimantan dan Papua, kita menyaksikan bagaimana hutan yang menjadi rumah masyarakat adat dan berbagai spesies hewan dihancurkan demi kelapa sawit atau tambang nikel. Di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, polusi udara sudah melampaui ambang batas kesehatan. Sementara itu, laut kita tercemar oleh jutaan ton sampah plastik yang setiap tahun mengalir dari daratan. Bukankah semua ini menyedihkan?
Ironisnya, masyarakat miskin dan rentan justru yang paling menderita karena krisis ini. Mereka yang tinggal di bantaran sungai, di lereng-lereng gunung, atau bergantung pada hutan dan laut, menjadi korban pertama dari kegagalan kita mengelola ciptaan. Inilah ketidakadilan ekologis yang harus kita jawab bukan hanya dengan kebijakan, tetapi juga dengan iman dan keadilan kasih.
Gereja dan Warga Iman, Apakah Kita Peduli?
Pertanyaan besar yang muncul di tengah situasi ini adalah, Di mana posisi gereja? Di mana suara iman? Sayangnya, banyak gereja masih menempatkan isu ekologi sebagai hal “tambahan.” Dianggap tidak sepenting soal keselamatan jiwa, pelayanan ibadah, atau penginjilan. Padahal, bagaimana mungkin kita bicara keselamatan jika rumah tempat kita tinggal, yakni bumi yang sedang rusak?
Kita sering lupa bahwa keselamatan tidak hanya bersifat rohani, tapi juga menyangkut tubuh, tanah, udara, air, dan relasi kita dengan alam. Kristus datang bukan hanya untuk membawa jiwa manusia ke surga, tetapi juga untuk memulihkan kehidupan secara utuh. Maka, jika gereja hanya berdiam diri di tengah krisis ekologi, maka kita sedang kehilangan makna iman itu sendiri.
Pertanyaan berikutnya adalah, Apakah liturgi, khotbah, dan pelayanan gereja kita sudah menanggapi krisis ini? Apakah kita pernah mendoakan sungai yang tercemar? Apakah kita pernah berkhotbah tentang dosa ekologis? Apakah dalam kehidupan komunitas jemaat, kita sudah berusaha mengurangi sampah, hemat energi, atau mendukung pertanian organik?
Iman yang hidup adalah iman yang menyentuh bumi. Sebab Allah kita bukan hanya Allah di surga, tetapi juga Immanuel yang hadir di tanah, di hutan, di laut, dan di udara. Maka, gereja harus keluar dari tembok ibadah dan menjadi suara profetik yang berani menyuarakan keadilan bagi bumi.
Sekolah Teologi dan Kesadaran Ekologis
Krisis ekologi sesungguhnya adalah krisis spiritual dan moral. Karena itu, teologi tidak boleh diam. Sekolah-sekolah teologi, liturgi gereja, pendidikan iman anak dan remaja, serta pembinaan warga jemaat, perlu diisi dengan kesadaran ekologis. Kita perlu membangun teologi yang mampu menjawab persoalan hari ini: bukan hanya soal dosa pribadi, tapi juga dosa kolektif yang merusak ciptaan.
Teologi yang memisahkan manusia dari alam telah gagal. Kita perlu kembali pada pemahaman bahwa manusia adalah bagian dari komunitas ciptaan. Bahwa bumi bukan milik kita, tetapi warisan yang harus dijaga untuk generasi mendatang. Bahwa dosa ekologis adalah pelanggaran terhadap kasih Allah dan penghinaan terhadap karya-Nya.
Dalam semangat itu, teologi harus menjadi jembatan antara iman dan aksi. Kita perlu menciptakan bahasa baru, ibadah baru, kurikulum baru, dan praktik hidup baru yang mencerminkan pertobatan ekologis. Ini bukan hanya soal gaya hidup ramah lingkungan, tetapi soal spiritualitas yang utuh. Sebab mencintai bumi adalah bagian dari mencintai Allah.
Membangun Iman yang Bertanggungjawab
Akhirnya, kita tiba pada kesadaran penting: bahwa menghadapi krisis ekologi bukan hanya soal mengubah kebijakan atau perilaku, tetapi juga soal pertobatan iman. Kita harus bertobat dari gaya hidup yang merusak bumi. Kita harus bertobat dari keegoisan manusia yang mengabaikan ciptaan. Kita harus bertobat dari cara pandang rohani yang melupakan bumi.
Pertobatan ini bukan hanya rasa bersalah, tapi juga kesediaan untuk berubah dan bertindak. Mulai dari hal-hal kecil: menanam pohon, tidak membuang sampah sembarangan, mengurangi konsumsi plastik, mendukung ekonomi hijau, mengedukasi anak-anak tentang cinta alam. Hingga hal-hal besar, menyuarakan keadilan ekologis dalam kebijakan publik, bergabung dalam gerakan lingkungan, dan menjadikan ekoteologi sebagai bagian dari pelayanan gereja.
Dan di atas segalanya, kita tetap memelihara harapan. Sebab Allah tidak menyerah pada ciptaan-Nya. Kristus telah bangkit, dan kebangkitan itu adalah tanda bahwa pemulihan itu mungkin. Roh Kudus bekerja dalam dunia, menumbuhkan benih kehidupan di tengah kehancuran. Maka, kita tidak berjuang sendirian. Kita bekerja bersama Allah, bersama ciptaan, dan bersama sesama untuk membangun dunia yang adil dan lestari.
Krisis ekologi bukan akhir segalanya. Tapi ini adalah tanda yang mendesak kita untuk membangun iman yang lebih bertanggung jawab. Dunia sedang menanti suara gereja yang peduli, teologi yang relevan, dan umat beriman yang mau bergerak. Maka, mari kita jadikan iman kita nyata dalam cinta terhadap bumi. Karena mencintai bumi adalah juga bentuk memuliakan Allah Sang Pencipta.