Kopi Times | Siborongborong :
Suasana hangat dan penuh semangat menyelimuti Huta Art Space di Lobu Siregar, Siborongborong, Sabtu lalu, 5 /4/2025, saat puluhan tokoh dari berbagai daerah di sekitar Danau Toba berkumpul dalam forum “Ngobrol Budaya untuk Pariwisata”. Acara yang berlangsung selama enam jam ini mengangkat tema penting dan mendesak: Brainstorming dalam tajuk Menjaga dan Menghidupi Warisan Batak untuk Memajukan Pariwisata Danau Toba.
Forum ini diprakarsai oleh Edward Tigor Siahaan, pendiri Piltik Coffee dan penggagas Huta Art Space, yang beberapa hari sebelumnya telah menyampaikan undangan kepada para pemerhati budaya, pelaku seni, pengelola wisata, pemuda, hingga tokoh masyarakat dari tiga kabupaten utama, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, dan Toba, serta dari Pematangsiantar dan Medan. Tak kurang dari 30 orang hadir, termasuk Wakil Bupati Tapanuli Utara, Deni Sihombing, yang turut menyampaikan pandangannya terkait dinamika sosial dan kebudayaan di kawasan ini.
Kegiatan yang dibagi dalam dua sesi utama ini tidak hanya menjadi ajang curah gagasan, tetapi juga menjadi wadah keprihatinan bersama terhadap arah pembangunan pariwisata Danau Toba yang dinilai semakin menjauh dari akar budaya Batak. “Pariwisata tidak boleh hanya menjual pemandangan. Kita punya kekayaan budaya yang luar biasa. Sayangnya, belum dikelola secara serius,” ujar Tigor dalam sambutannya.
Menurutnya, kehadiran pariwisata di sekitar Danau Toba saat ini mulai memperlihatkan gejala eksploitasi budaya tanpa pemaknaan. Banyak elemen adat seperti tortor, ulos, gondang, dan rumah adat hanya dijadikan pelengkap visual yang menghibur wisatawan, namun kehilangan esensi. “Budaya kita bukan tontonan, melainkan tuntunan. Ia lahir dari cara hidup dan nilai-nilai yang harus tetap dijaga,” tambahnya.
Dalam diskusi yang berlangsung terbuka dan penuh dialog, sejumlah persoalan mendasar mencuat. Salah satunya adalah hilangnya keterlibatan generasi muda dalam proses pewarisan budaya. Anak-anak dan generasi yang semakin jauh dari praktik-praktik budaya. Mereka lebih kenal media sosial daripada makna Dalihan Na Tolu. Kurangnya ruang dan kesempatan untuk belajar serta mengalami langsung kebudayaan membuat generasi muda rentan tercerabut dari akar identitasnya.
Wakil Bupati Tapanuli Utara, Deni Sihombing, menyoroti perlunya kebijakan yang menyelaraskan pembangunan fisik dan spiritualitas budaya. “Pemerintah mendukung pariwisata, tapi harus berbasis pada nilai-nilai lokal. Kita perlu melibatkan tokoh adat, seniman lokal, dan komunitas budaya agar pengembangan pariwisata benar-benar membumi,” jelasnya.
Diskusi juga menyoroti pentingnya membentuk forum budaya tetap yang mampu menjembatani dialog antara masyarakat adat, pemerintah, dan pelaku industri kreatif. Forum ini diharapkan dapat merumuskan langkah-langkah strategis, seperti penyusunan kurikulum budaya Batak di sekolah-sekolah, pengembangan ekowisata berbasis nilai adat, hingga advokasi regulasi perlindungan warisan budaya.
Huta Art Space sendiri menjadi contoh nyata bagaimana budaya bisa dirawat dan dikembangkan secara kontekstual. Sebagai pengembangan dari Piltik Coffee, ruang ini menghadirkan konsep terpadu antara kopi, seni, dan budaya. Dengan fasilitas seperti panggung terbuka, ruang pameran, Coffee Academy, lapo, dan area jemur kopi, Huta Art Space menjadi titik temu yang hidup antara tradisi dan inovasi.
Menciptakan ruang yang tidak hanya memanjakan lidah, tetapi juga menyuburkan pikiran dan hati. Kopi hanyalah pintu masuk. Setelah itu, kami ajak pengunjung untuk mengenal Batak lebih dalam, lewat seni, musik, cerita, dan nilai-nilai.
Pertemuan ini menghasilkan sejumlah kesepahaman awal, di antaranya pentingnya menumbuhkan kembali praktik budaya dalam kehidupan sehari-hari, mendorong pendidikan budaya di semua jenjang, serta menciptakan model pariwisata alternatif yang berbasis pada kearifan lokal. Hasil dari brainstorming ini akan dirumuskan lebih lanjut dalam pertemuan kedua yang direncanakan dalam waktu dekat.
Warisan Batak tidak berhenti pada benda-benda budaya, tetapi hidup dalam martutur yang bijaksana, dalam sistem sosial Dalihan Na Tolu yang menghormati relasi, dan dalam praktik spiritual yang menghargai manusia, alam, dan leluhur. Ketika pariwisata dirancang dengan semangat ini, maka Danau Toba bukan hanya menjadi tujuan wisata, tetapi pusat refleksi peradaban yang mengakar dan membebaskan.
Ngobrol budaya di Huta Art Space adalah awal. Tapi dari obrolan yang sederhana inilah, lahir harapan besar: bahwa budaya Batak akan tetap hidup, tumbuh, dan memberi terang, bukan hanya bagi masyarakat Tapanuli, tetapi juga bagi Indonesia yang lebih berakar dan berbudaya. (Red/Hery B Manalu)