Oleh : Hery Buha Manalu
Dalam lanskap pangan modern yang semakin didominasi oleh makanan instan dan produk impor, diskusi bertajuk Pangan dan Gaya di teras Rumah Karya Indonesia (RKI) menjadi ajang refleksi tentang bagaimana masyarakat dapat kembali ke akar lokal dalam pola konsumsi. Acara yang menghadirkan pembicara Pace Dimas dan dimoderatori oleh Jones Gultom ini menyoroti pentingnya pangan lokal sebagai bentuk ketahanan dan keberlanjutan hidup.
Melimpah, Tetapi Terabaikan
Indonesia sejatinya memiliki kekayaan pangan yang luar biasa. Dari kacang-kacangan, umbi-umbian, hingga tanaman merambat yang tumbuh subur di hutan dan pinggiran desa, semua mengandung karbohidrat dan nutrisi tinggi. Salah satu contoh nyata adalah sukun dan sorgum, dua sumber pangan yang berpotensi besar sebagai alternatif beras.
“Sukun bisa dipanen sepanjang musim, memiliki kandungan gizi yang baik, dan bisa diolah dalam berbagai bentuk,” ujar Pace Dimas dalam diskusi tersebut. Sementara itu, sorgum, yang kaya serat dan bebas gluten bisa menjadi solusi bagi ketergantungan masyarakat terhadap beras. Namun, di tengah gempuran makanan instan dan tren konsumsi modern, kedua bahan pangan ini semakin terpinggirkan.
Ironisnya, pangan lokal yang lebih sehat dan berkelanjutan sering kali dipandang sebelah mata. Padahal, di masa lalu, masyarakat adat telah mengandalkan bahan-bahan ini sebagai sumber energi utama. Ketergantungan pada pangan impor dan olahan justru menciptakan tantangan baru, baik dalam hal kesehatan maupun ketahanan pangan nasional.
Makan, Ritual atau Sekadar Konsumsi?
Penulis dalam diskusi ini, mengungkapkan dalam konteks budaya, makan bukan sekadar kegiatan mengisi perut. Bagi banyak kelompok adat, termasuk masyarakat Batak, makan adalah ritual yang sarat makna. Salah satu contohnya adalah Itak Gurgur, tradisi makan tradisional khas Batak ini yang selalu digunakan sebagai media doa dan ungkapan syukur dalam berbagai upacara adat.
Makan sejatinya adalah bentuk komunikasi antara manusia dan alam. Saat kita makan, kita sebenarnya sedang menerima kasih dari bumi. Namun, pola makan kita hari ini justru menjauh dari alam.
Berbeda dengan masa lalu, anak muda saat ini lebih cenderung memilih makanan instan yang cepat saji. Kebiasaan ini bukan hanya mengubah pola konsumsi, tetapi juga menggerus kesadaran akan pentingnya kebersamaan dalam makan. Jika dulu makan dilakukan bersama sebagai simbol persaudaraan, kini makan sering kali dilakukan sendiri-sendiri, bahkan di depan layar ponsel.
Pangan dan Polusi, Ancaman yang Tak Terlihat
Salah satu dampak lain dari perubahan pola makan adalah meningkatnya limbah kemasan plastik. Makanan instan dan produk olahan modern hampir selalu dikemas dalam plastik sekali pakai yang sulit terurai. Jika dibandingkan dengan pangan tradisional yang minim kemasan dan lebih lebih ramah lingkungan, tren konsumsi saat ini justru memperburuk krisis polusi.
Dalam diskusi ini, penulis juga menyoroti bagaimana makanan kemasan tidak hanya berdampak buruk pada lingkungan, tetapi juga pada kesehatan. Tingginya kandungan pengawet, pewarna buatan, dan gula dalam makanan olahan menjadi faktor utama meningkatnya penyakit metabolik seperti diabetes dan hipertensi.
Mengembalikan Kesadaran akan Pangan Lokal
Lantas, bagaimana kita bisa kembali ke pola konsumsi yang lebih sehat dan berkelanjutan? Menurut para pembicara, langkah pertama adalah meningkatkan kesadaran akan pentingnya pangan lokal. Edukasi tentang manfaat sorgum, sukun, dan bahan pangan lainnya perlu diperkuat agar masyarakat tidak lagi bergantung pada produk impor yang belum tentu lebih baik.
Di sisi lain, perlu ada upaya untuk menjadikan pangan lokal lebih menarik bagi generasi muda. Salah satu cara yang diusulkan adalah dengan mengadaptasi olahan pangan tradisional ke dalam bentuk yang lebih modern dan praktis, tanpa kehilangan esensi kesehatannya.
Diskusi Pangan dan Gaya menjadi pengingat bahwa konsumsi pangan bukan sekadar soal rasa atau kepraktisan, tetapi juga menyangkut keberlanjutan lingkungan dan identitas budaya. Jika masyarakat dapat kembali menghargai pangan lokal dan mengurangi ketergantungan pada makanan instan, maka ketahanan pangan yang lebih sehat dan berkeadilan bisa terwujud.
Sebagai penutup, Jones Gultom menegaskan bahwa perubahan gaya hidup harus dimulai dari kesadaran individu. Kita tidak bisa terus-menerus mengandalkan solusi dari luar. Yang bisa kita lakukan adalah mulai dari diri sendiri, memilih makanan yang lebih sehat, lebih lokal, dan lebih berkelanjutan.