Oleh: Hery Buha Manalu
Danau Toba bukan sekadar lanskap alam yang memesona, tetapi juga ruang kehidupan yang kaya dengan nilai budaya dan kearifan lokal masyarakat Batak. Salah satu konsep ekologi yang mengakar dalam budaya Batak adalah Sangkamadeha, yang bukan hanya sekadar tanaman khas, tetapi juga representasi dari filosofi ekologis dan sosial masyarakat di kawasan ini.
Hau Sangkamadeha tumbuh di lingkungan berbatu di Tombak Sulusulu, Bakara, sebuah wilayah yang memiliki peran penting dalam sejarah Batak. Keunikan tanaman ini terletak pada akarnya yang kokoh, merangkul batu-batu besar dan menjadi pelindung alami terhadap erosi dan longsor. Lebih dari sekadar flora, Sangkamadeha telah menjadi simbol ketahanan, kebersamaan, dan harmoni antara manusia dan alam.
Warisan Kearifan Lokal dalam Konteks Ekologi
Usai diskusi yang diadakan oleh Jaringan Komunal se-Danau Toba dan Sumatera Utara bersama Toba Caldera UNESCO Global Geopark (TC-UGGP) pada 22 Maret 2025 di Medan, penulis mengungkapkan gagasan dalam perbincangan hangat bersama Raja Tonggo Sinambela, Raja Julio Sinambela (Cicit Raja Sisingamangaraja XII), Jhon Robert Simanjuntak (Forum Sisingamangaraja XII) dan Azizul Cholis (TC-UGGP), tentang “Martutu Aek” dan Filosofi Hau Sangkamadeha. Kearifan lokal masyarakat Batak berkaitan ekologi kawasan Danau Toba. Jaringan Komunal Se – Danau Toba dengan Konsep ekologis ini menyoroti, Isu mengenai kelestarian lingkungan Danau Toba semakin mendesak, terutama dalam menghadapi eksploitasi sumber daya alam yang dapat mengancam ekosistem kawasan ini.
Sangkamadeha, Filosofi Ekologis yang Kokoh
Dalam budaya Batak, Sangkamadeha merepresentasikan kekuatan yang merangkul dan melindungi, seperti akar-akarnya yang membelit batu-batu dan menopang tanah di lereng-lereng bukit. Filosofi ini mengajarkan bahwa manusia harus menjaga hubungan harmonis dengan alam, bukan mengeksploitasi atau merusaknya.
Jika ditarik dalam konteks ekologi, Sangkamadeha mencerminkan sistem keberlanjutan yang ideal. Seperti akar yang kuat menahan erosi, masyarakat juga perlu membangun sistem sosial dan ekonomi yang kokoh untuk menjaga keseimbangan lingkungan. Sayangnya, modernisasi yang tidak terkendali dan eksploitasi sumber daya alam di kawasan Danau Toba sering mengabaikan nilai-nilai ini.
Dalam hal kepemimpinan, Sangkamadeha menggambarkan sosok pemimpin yang tidak sekadar kuat, tetapi juga mampu merangkul dan menyatukan masyarakat. Seorang pemimpin yang baik adalah mereka yang mampu menjaga keseimbangan antara kemajuan dan keberlanjutan, bukan hanya mementingkan kepentingan ekonomi sesaat tetapi juga memikirkan dampaknya bagi generasi mendatang.
Tantangan dan Urgensi Kesadaran Ekologis di Danau Toba
Danau Toba saat ini menghadapi berbagai tantangan ekologis, mulai dari deforestasi, pencemaran pencemaran air, hingga eksploitasi sumber daya yang berlebihan. Program konservasi sering kali berjalan tanpa mempertimbangkan kearifan lokal yang telah terbukti efektif menjaga keseimbangan ekosistem selama berabad-abad.
Dalam konteks ini, mengkaji kembali konsep Sangkamadeha menjadi sangat relevan. Bagaimana masyarakat Batak modern dapat mengadaptasi filosofi ini dalam upaya menjaga lingkungan? Bagaimana pemerintah dan pemangku kebijakan bisa mengakomodasi nilai-nilai ekologis tradisional ke dalam kebijakan pembangunan berkelanjutan?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini bukan sekadar teori, tetapi membutuhkan aksi nyata. Salah satunya adalah dengan menghidupkan kembali sistem kearifan lokal dalam strategi strategi konservasi. Jika masyarakat didorong untuk memahami kembali filosofi ekologis seperti Sangkamadeha, kesadaran ekologis yang lebih mendalam dapat tumbuh dan menjadi fondasi dalam setiap kebijakan dan tindakan pelestarian lingkungan.
Menghidupkan Kembali Sangkamadeha untuk Masa Depan
Sangkamadeha bukan sekadar tanaman, melainkan simbol kearifan ekologis yang telah lama mengakar dalam budaya Batak. Filosofi ini mengajarkan keseimbangan antara manusia dan alam, serta pentingnya kepemimpinan yang merangkul dan menjaga keberlanjutan lingkungan.
Dalam menghadapi tantangan ekologis di Danau Toba, sudah saatnya konsep Sangkamadeha dihidupkan kembali sebagai bagian dari strategi konservasi berbasis kearifan lokal. Kesadaran ekologis bukan sekadar jargon, tetapi harus diwujudkan dalam aksi nyata yang melibatkan seluruh elemen masyarakat, dari pemerintah, akademisi, hingga komunitas lokal.
Dengan mengembalikan nilai-nilai Sangkamadeha dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Batak dapat memainkan peran aktif dalam menjaga kelestarian Danau Toba, sehingga warisan alam dan budaya ini tetap lestari bagi generasi mendatang.
Penulis adalah Angggota Luar Biasa Mahatala Universitas HKBP Nommensen Medan