Oleh: Hery Buha Manalu
Mapala, Panggilan Spiritual Mencintai Alam
Sebagai mahasiswa pencinta alam (Mapala), pengalaman mendaki gunung, menjelajahi hutan, dan menyelami keindahan alam bukan sekadar petualangan fisik. Di balik semua itu, ada dimensi spiritual yang sering kali kita alami secara intuitif, perasaan kagum, syukur, dan kerendahan hati di hadapan kebesaran Sang Pencipta. Dalam konteks teologi, pengalaman ini mencerminkan bagaimana alam menjadi wahyu umum Allah, yang berbicara kepada manusia tentang keagungan-Nya.
Teologi Mapala adalah refleksi iman yang melihat alam bukan hanya sebagai sumber daya untuk dieksploitasi, tetapi sebagai ruang perjumpaan dengan Tuhan dan sesama. Ketika kita mencintai alam, kita tidak hanya menjalankan tanggung jawab ekologis, tetapi juga menegaskan solidaritas sosial, karena kelestarian lingkungan erat kaitannya dengan,keadilan bagi manusia, terutama mereka yang hidup bergantung pada alam.
Alam dalam Perspektif Teologi: Wahyu, Anugerah, dan Amanah
Dalam banyak tradisi teologis, alam sering dipandang sebagai wahyu umum, cara Allah menyatakan diri-Nya kepada manusia. Kitab Mazmur 19:2-5 menyatakan:
“Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya.”
Ayat ini menegaskan bahwa alam bukan sekadar materi tak bernyawa, tetapi sebuah pesan spiritual yang mengingatkan manusia akan kebesaran Tuhan. Dalam konteks Mapala, ini berarti bahwa ketika kita berada di puncak gunung, di tepian danau yang tenang, atau di tengah hutan yang rimbun, kita sedang berada dalam “gereja alami” yang mengundang kita untuk bersyukur, merenung, dan bertanggung jawab.
Namun, anugerah ini datang dengan tanggung jawab. Kitab Kejadian 2:15 mengajarkan bahwa manusia ditempatkan di taman Eden “untuk mengusahakan dan memeliharanya.” Kata kerja ini menunjukkan bahwa relasi manusia dengan alam bukan hubungan eksploitasi, melainkan pemeliharaan (stewardship).
Dalam konteks modern, amanah ini semakin mendesak. Krisis lingkungan seperti deforestasi, pencemaran air, dan perubahan iklim bukan hanya ancaman ekologis, tetapi juga krisis moral dan spiritual. Teologi Mapala harus menjadi gerakan yang mengingatkan bahwa menjaga alam adalah bagian dari panggilan iman.
Misi Mahasiswa Pencinta Alam
Teologi Mapala tidak hanya berbicara tentang relasi manusia dengan alam, tetapi juga tentang solidaritas sosial. Kerusakan lingkungan sering kali berdampak paling besar pada mereka yang paling rentan seperti masyarakat adat yang kehilangan hutan mereka, nelayan yang kehilangan hasil tangkapan akibat pencemaran laut, atau penduduk desa yang menderita karena tanahnya dirampas untuk industri.
Dalam terang teologi lingkungan kita melihat bahwa kepedulian terhadap lingkungan harus berjalan seiring dengan perjuangan keadilan sosial. Ini sejalan dengan konsep shalom dalam teologi Kristen, yaitu kedamaian dan kesejahteraan yang tidak hanya mencakup hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga dengan sesama dan seluruh ciptaan.
Gerakan Mapala, jika diarahkan dengan visi teologis, dapat menjadi agen perubahan yang menghubungkan aksi lingkungan dengan perjuangan kemanusiaan. Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa hal seperti,
Advokasi untuk lingkungan yang adil yang menentang eksploitasi alam yang merugikan masyarakat kecil dan mendukung kebijakan berbasis keberlanjutan.
Edukasi ekoteologi, mengajarkan bahwa iman yang sejati harus diwujudkan dalam kepedulian terhadap bumi dan sesama.
Aksi nyata reforestasi, pembersihan sungai, dan pengelolaan sampah bukan hanya kegiatan ekologis, tetapi juga tindakan ibadah dan pelayanan.
Mapala, Komunitas Spiritualitas Ekologis
Mahasiswa pencinta alam tidak hanya dipanggil untuk menjadi petualang, tetapi juga sebagai komunitas yang menghidupi spiritualitas ekologis. Ini berarti menjadikan perjalanan alam sebagai momen refleksi, ibadah, dan komitmen terhadap perubahan.
Beberapa langkah konkret yang bisa dilakukan dalam mengembangkan Teologi Mapala antara lain,
1. Retret Alam dan Meditasi Ekologis
Menggunakan alam sebagai ruang spiritual untuk merenungkan panggilan iman dalam menjaga lingkungan. Misalnya, mengadakan ibadah di alam terbuka atau refleksi teologis di tengah perjalanan mendaki gunung.
2. Pelayanan Lingkungan sebagai Bentuk Kasih
Mengintegrasikan aksi sosial dan lingkungan, seperti membantu masyarakat desa dalam pengelolaan sumber daya alam yang lestari atau mendukung petani lokal dengan sistem pertanian organik.
3. Kampanye Ekoteologi di Kampus
Mengembangkan diskusi dan seminar tentang hubungan antara iman, lingkungan, dan keadilan sosial untuk membentuk kesadaran yang lebih luas di kalangan mahasiswa.
4. Etika Konsumsi dan Gaya Hidup Berkelanjutan
Mengajak sesama mahasiswa untuk hidup lebih sederhana, mengurangi jejak karbon, dan menggunakan produk yang lebih ramah lingkungan sebagai bentuk kesaksian iman.
Menjadi Penjaga Alam dalam Iman dan Solidaritas
Teologi Mapala bukan sekadar teori, tetapi sebuah panggilan untuk hidup secara bertanggung jawab terhadap ciptaan Tuhan. Sebagai mahasiswa pencinta alam, memiliki peran ganda yaitu menikmati keindahan alam sebagai anugerah, sekaligus menjaga dan membelanya dari eksploitasi.
Lebih dari sekadar petualangan, perjalanan ke alam bebas harus menjadi perjalanan spiritual, sebuah penghayatan bahwa mencintai Tuhan juga berarti mencintai bumi dan semua yang ada di dalamnya. Ketika kita mendaki gunung atau menyusuri sungai, kita bukan hanya mengagumi keindahan ciptaan, tetapi juga memperbarui komitmen kita sebagai penjaga dan pelayan alam semesta.
Sebagai insan Mapala, panggilan kita bukan hanya untuk menjelajah, tetapi juga untuk berjuang. Berjuang untuk lingkungan yang lestari, untuk keadilan sosial, dan untuk iman yang hidup dalam tindakan nyata. Dengan demikian, Teologi Mapala bukan hanya sebuah konsep, tetapi sebuah gerakan yang membawa perubahan bagi dunia. (Red/*)
Penulis adalah Anggota Luar Biasa Mahatala Universitas HKBP Nommensen (UHN) Medan