Iluatrasi : Ist |
Oleh : Wan Traga Duvan Baros
Kopi-times.com-Mempertimbangkan situasi pandemi COVID-19 yang terjadi secara global saat ini, pada 1 Juni 2020, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kembali mengeluarkan Pernyataan Bersama yang mendesak Negara-Negara Anggota untuk menutup permanen Rumah Tahanan kasus Narkotika dan Pusat Rehabilitasi Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif berbahaya lainnya (NAPZA), dan membebaskan para tahanan sebagai langkah penting untuk menghentikan penyebaran COVID-19. Sebagai gantinya, Negara-negara Anggota didesak untuk memberlakukan “hukuman” layanan sosial dan kesehatan dimasyarakat yang berbasis kesukarelaan, bukti-bukti yang terang benderang dan Hak Asasi Manusia.
Sebelumnya, pada Maret 2012, PBB telah mengeluarkan Pernyataan Bersama mengenai hal yang sama, yang ditindaklanjuti dengan adanya laporan di tahun 2013 yang menyebutkan bahwa telah terjadi penyalahgunaan wewenang, termasuk dengan dilanggengkannya kekerasan fisik, seksual dan kerja paksa di dalam Rumah Tahanan dan Pusat Rehabilitasi NAPZA.
Dalam laporan tersebut juga disebutkan bahwa kriteria penahanan dan penempatan para tahanan dilakukan dengan berbagai alasan, namun seringkali dilakukan tanpa proses dan pendampingan hukum yang layak yang mengatasnamakan “perawatan” dan “rehabilitasi”. Ditambah lagi, dengan adanya pandemi COVID-19 ini, Rumah Tahanan dan Pusat Rehabilitasi menjadi salah satu cluster dalam penyebaran COVID-19, juga termasuk penyebaran HIV dan TBC yang disebabkan lingkungan yang di bawah standar dan adanya kelebihan kapasitas sehingga menjaga jarak aman (physical distancing) menjadi sebuah tantangan tersendiri.
Yayasan Karunia Anak Bangsa (YKAB) dalam hal ini sebagai salah satu Pusat Rehabilitasi yang memiliki reputasi baik, selalu mengedepankan Hak Asasi Manusia serta mengutamakan kehidupan yang layak bagi para kliennya, menentang keras Pernyataan Bersama PBB tersebut. Diperlukan adanya assessment tambahan dimasing-masing Negara Anggota, termasuk Indonesia. Sebagaimana diketahui, bahwa Indonesia dan juga Negara Anggota lainnya memiliki kedaulatan yang tidak dapat direnggut oleh negara lain, termasuk PBB. Dengan adanya Pernyataan Bersama tersebut, sama saja dengan mensejajarkan Pusat Rehabilitasi dengan reputasi baik, dengan Pusat Rehabilitasi di bawah standar.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa penegakan hukum di Indonesia jauh dari kata sempurna, termasuk stigmatisasi korban NAPZA yang merupakan “sampah” masyarakat yang perlu dibasmi, sehingga seringkali penanganan dilakukan tidak mempertimbangkan Hak Asasi Manusia serta tanpa dukungan bukti-bukti. Namun, sangat disayangkan jika hal tersebut malah memberikan stigma buruk terhadap seluruh Pusat Rehabilitasi di dunia.
Yang perlu diperbaiki adalah proses penanganan dan penegakan hukum yang berfokus pada korban NAPZA yang membutuhkan perawatan, bukan sebagai pelaku kejahatan. Pusat Rehabilitasi masih diperlukan dalam menekan penggunaan NAPZA di Indonesia, di mana pada hakikatnya, Pusat Rehabilitasi dipakai sebagai tempat tinggal sementara untuk detoksifikasi, isolasi dari lingkungan pemakai NAPZA, mengasah moral dan pelatihan keterampilan untuk mempersiapkan kehidupan selanjutnya setelah keluar dari Pusat Rehabilitasi.
Dengan demikian, YKAB sangat merekomendasikan Pemerintah Indonesia untuk tidak mengadopsi Pernyataan Bersama PBB tersebut, melainkan, harus melakukan assessment terlebih dahulu terhadap seluruh Pusat Rehabilitasi yang ada di Indonesia, dan menutup Pusat Rehabilitasi yang melanggar standar kehidupan yang layak serta tidak mengindahkan Hak Asasi Manusia. (***)
Editor : Hery B Manalu